Kain Sablon VS Kain Tenun
![]() |
Poses Membuat Kain Tenun Semau, NTT |
Desa
Batuinan, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang Barat, 12 Oktober 2023 - Di tengah
kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup, beberapa profesi tradisional yang
bernilai budaya dan bersejarah masih bertahan, meskipun semakin langka.Terutama
di era sekarang orang akan lebih tertarik menggunakan kain sablon modern
dibandingkan kain tenun tradisional. Salah satu profesi yang dapat ditemukan di
daerah Semau, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah penenun kain. Yorim Ukat,
seorang penenun kain kelahiran Kupang, 13 Januari 1972, masih menggeluti
profesi yang sudah jarang dilirik ini.
![]() |
Yorim Ukat (Penenun Tradisional Semau, NTT) |
Penenun
kain di daerah Semau dikenal dengan keahlian mereka dalam menciptakan kain
tradisional berwarna-warni yang memiliki corak khas. Proses penenunan kain di
sini masih sangat manual dan memerlukan keterampilan yang tinggi. “Mulanya ini
bukan sebuah pekerjaan melainkan sebuah tradisi
yang diturunkan dari nenek moyang ke semua anak Perempuan, jadi
Perempuan harus bisa menenun.” ucap Yorim menjelaskan bagaiamana seiring
perkembangan zaman hanya perempuan yang telaten di bidang ini saja yang
akhirnya memanfaatkan peluang tenun menjadi ladang usaha.
Hasil
tenun yang dikembangkan sendiri terbagi menjadi beberapa jenis. Untuk model
kain tenun perempuan diberi nama ‘Bihata’, model kain tenun laki-laki diberi
nama ‘Seman Biklobe’ dan ‘Hilmut’ menjadi sebutan untuk aksesoris selendang.
Selain kain lembaran, pengaplikasian tenun pulau Semau akhirnya juga berkembang
seiring waktu dengan membuat variasi seperti tas tenun, aksesoris kepala,
sarung, rok, baju, selempang dan lainnya.
Salah
satu keunikan kain tenun khas pulau Semau adalah motifnya. Motif yang ada pada
kain tenun ini berbentuk belah ketupat atau wajik. Bentuk wajik yang tersusun
berurutan memiliki filosofi sebagai pagar yang memagari kesatuan masyarakat
suku helong (suku di pulau Semau) yang terdiri dari beragam marga. Pengait
dalam wajik sendiri, menggambarkan ragam marga-marga yang ada di suku helong,
tetapi tetap disatukan oleh adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyang.
Keunikan lain pada kain tenun ini adalah pemilihan warnanya yang terbatas. Yorim menjelaskan bahwa , “Kami hanya menggunakan tigas warna saja untuk kain tenun ini yaitu, warna merah, warna putih, dan warna kuning”. Bukan tanpa alasan, pemilihan tiga warna ini terinspirasi dari nama pulau mereka sendiri yang diambil dari bahasa suku Helong yaitu ‘Bung-Tilu’ yang artinya ‘Tiga Bunga’. Terkadang sering juga ditemukan kain tenun yang berisi sedikit corak berwarna biru, tetapi warna itu tidak boleh mendominasi selain ketiga warna utama kain tenun ini.
![]() |
Ragam Hasil Tenun |
Kain
tenun ini biasanya digunakan sebagai dresscode (aturan berbusana) pada acara adat
tertentu misalnya pernikahan pesata keluarga, festival lingae atau tradisi
injak jagung panen raya di pulau Semau. Selain itu, kain ini juga sering
didapati menjadi salah satu persyaratan mahar pernikahan. Karena fungsionalitasnya,
pengusaha kain tenun akhirnya memanfaatkan usaha kain tenun untuk diperjual
belikan. Masyarakat Semau, khususnya suku Helong akan memesan kepada penennun
dengan harga rata-rata Rp.500.000,00 untuk satu model selempang, Rp. 1.500.000,00
untuk satu kain lembaran model perempuan, dan Rp.1.000.000,00 untuk satu kain
lembaran model laki-laki.
Profesi
penenun kain di daerah Semau, NTT, mungkin semakin langka, dan persaingan dengan
fashion modern tetapi semangat dan keahlian para penenun termasuk Yorim yang
gigih terus hidup. Ia berharap bahwa dengan dukungan lebih lanjut dari
pemerintah, organisasi, dan masyarakat, tradisi ini akan terus berkembang dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya daerah mereka. Dengan
pengetahuan ini, kita diingatkan tentang pentingnya mendukung dan melestarikan
warisan budaya dan tradisional, bahkan di tengah arus modernisasi yang terus
berkembang.
Komentar
Posting Komentar