LEBIH PILIH MANA?! MENTAL SEHAT UANG SEDIKIT ATAU MENTAL RUSAK UANG BANYAK


sumber dok: gajigesa.com


Hewlett-Packard (HP) melakukan riset Work Relationship Index” yang menyurvei 15.624 responden dari 12 negara, termasuk Indonesia. Survei yang dilaksanakan dua hari ini, yakni pada  9-10 Juli 2023 menunjukan 83% pekerja rela menerima gaji yang lebih sedikit asalkan memiliki hubungan sehat dengan pekerjaannya. 

Di antara berbagai kelompok usia yang mengikuti survei, para pekerja Gen Z adalah yang paling rela kehilangan gaji yang cukup besar untuk mendapatkan fleksibilitas itu. Dilaporkan bahwa Gen Z rela dibayar 16% lebih sedikit untuk pekerjaan yang bisa menawarkan Work From Anywhere (WFA). Di Indonesia, 23% pekerja memiliki hubungan yang sehat dengan pekerjaannya, sementara 77% mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. 

 

Ziyat Akhsani (23), seorang pekerja WFA mengaku setuju dengan penelitian tersebut. Dia mengatakan Saya sendiri termasuk 83% itu. Mental adalah yang paling penting. Mental sakit kita jadi tidak bisa kerja maksimal

 

Dia menambahkan, gaji kecil tetapi berada di tempat yang sehat lebih baik daripada harus bekerja di lingkungan yang toxic. Bagi dirinya bekerja dengan sistem WFA sangat menguntungkan. Fleksibilitas dalam tempat dan waktu membuat dirinya dapat mengambil beberapa pekerjaan. Bahkan dia mengatakan beberapa projek sampingan dia lebih menggiurkan. Hal itu dapat mengatasi masalah pendapatan yang kecil.

 

Sepadan dengan Ziyat, Muhammad Taufiq (25) menyatakan, Mental sehat itu kunci. Mental kalau rusak diobatinpun juga susah. Besaran gaji kecil atau besar itu relatif sesuai kebutuhan. Rasa cukup itu yang terpenting

 

Taufiq mengatakan sejatinya semua manusia membutuhkan ketenangan. Bekerja itu untuk menopang kehidupan, bukan untuk menjadi gila. Dengan WFA saya bisa ambil double job. Contohnya saya kerja sampingan jadi fotografer. Kerja sesuai hobi, mental aman, duit juga aman. Lanjut buat nyiapin modal untuk usaha sendiri jangka panjang” ujar Taufiq. 

 

Namun berbeda dengan Ziyat dan Taufiq, Lambang Cahyanto (28) mengaku dirinya bukan termasuk orang 83% tersebut. Bagi dirinya, semua pekerjaan pasti memiliki tekanan dan tuntutan. Belum lagi dengan keperluan hidup yang setiap hari naik harganya. Apalagi dia sebagai kepala keluarga ada yang harus dibiayain dan harus dinafkahin. 

 

Ya kalau saya sih yang penting kerja, dapet gaji yang sepadan dengan pekerjaan. Kenapa harus melepas pekerjaan demi gaji yang lebih sedikit. Padahal diluar sana masih banyak yang cari lowongan pekerjaan” ujar Lambang.

 

Dia menambahkan terkait masalah lingkungan  yang toxic, dia hanya perlu pengelolaan dalam menyikapi lingkungan tersebut. Bersikap cuek dan mengurus urusan yang seperlunya saja. Kalau lagi stress bisa pergi liburan untuk merilexkan badan dan otaknya. Dia berpendapat gaji besar uangnya bisa untuk jalan-jalan.

 

Sama dengan pendapat Lambang, Roni sebagai sandwich generation, yaitu seseorang yang menanggung hidup ibu dan adik-adiknya merasa hal yang dibutuhkan ialah gaji yang besar. Baginya mental sehat dapat diperoleh lewat menyenangkan orang tercinta. Daripada harus melihat kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi, hal itu lebih membuat mental dia sakit. 

 

Roni mengaku dirinya tidak peduli dengan lingkungan yang toxic. Dia berpendapat di setiap tempat kerja pasti ada orang-orang yang tidak sepaham dengan dia. Tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengikuti kemauan dia. Yang terpenting bagi dia, dia tidak menyenggol urusan orang lain. 

 

“Mending sakit hati daripada sakit gak punya duit” tukas Roni. 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revolusi Pencarian Kos: Mamikos Menggantikan Metode Konvensional dengan Teknologi Canggih

Relevansi pengguna e-book di kalangan pelajar

Anak Muda Berjaya di Dunia Freelance: Kisah Sukses Mahasiswa dalam Meniti Karier Mandiri